Pendahuluan.
Memberikan pertolongan pertama kepada siapapun ketika terjadi musibah, tidak akan mempersoalkan siapa yang akan dibantu. Siapa dia, latar belakangnya, suku, bangsa, ras, agama dan lain tidak relevan. Prioritas utama adalah menyelamatkan jiwa. Rasa kemanusiaan itu sifatnya universal. Petugas Pemadam kebakaran ataupun Tim SAR tidak bertanya dulu siapa atau milik siapa. Mereka bahkan rela korban jiwa dalam memberikan pertolongan. Itu juga yang saya alami.
Ditabrak.
Jam menunjukkan jam 05.15 rembang pagi, hari Jum'at, libur kejepit, seperti biasa saya ingin bergabung dengan masyarakat umum berolah raga di lapangan Pacuan Kuda, Pulomas, Jakarta Timur. Dini hari itu, Jalan Perintis Kemerdekaan mulai dari By pass menuju Pulo Gadung, Jakarta Timur sangat sepi kendaraan. Dalam sepi itu sepeda yang saya genjot berbelok, U turn tanpa melihat kebelakang, di seberang pompa bensin, sekitar ASMI. Sebuah sepeda motor dari arah barat dengan kecepatan tinggi, menyenggol roda belakang sepeda gunung saya berwarna merah. Saya kehilangan keseimbangan, terpelanting ...dan kepala tanpa helm membentur aspal....berdarah, menetesi mata, muka dan kaos saya.. Sedang penabrak, secepat kilat menghilang di pagi dingin itu.
Masih dalam posisi duduk, setengah sadar, tiba tiba malaikat datang. Beberapa orang warga Madura yang berdagang kayu bekas dan besi tua disepanjang kali kecil itu lari lari mendekat. Seorang membawa obat merah Betadine lengkap dengan kapas."Pak pakai obat merah dulu", katanya sambil menyodorkan botolnya. Tanpa berfikir panjang siapa yang ditolong, dengan hati bersih, hati malaikat, Tuhan meggerakkan hati mereka untuk menolong sesama. "Terima kasih", kata saya sambil mengembalikan botolnya. Sayang saya lupa nama malaikat penolong itu.
Setelah sadar penuh, apa yang baru saja terjadi,saya pun berdiri, tanpa dibantu siapapun menuntun sendiri sepeda, menyebrang jalur jalan dan berhenti di pompa bensin. Disana pun ada seorang berhati malaikat, pegawai pompa bensin yang baru saja selesai tugas malam. Mungkin kasihan melihat bercak darah dikemeja, dia menawarkan bantuan dengan berkata: "Mau diantar ke Rumah sakit pak", katanya. "Wah, terima kasih dik", jawab saya sambil naik di boncengan menuju ke Rumah Sakit Ongkomulyo yang tidak terlalu jauh.
Dengan sabar tanpa diminta, dia menunggui kepala saya dijahit diluar kamar Gawat darurat, sampai anak/cucu saya Peggy dan Antonia datang menjemput. Kami memberinya sekedar ucapan terima kasih. Dalam perjalanan pulang ke rumah, kami mampir ke pompa bensin, mendapati Sepeda gunung saya, buatan luar itu, masih utuh. Pada hal tidak dikunci, maklum waktu itu saya lagi bingung.
Begitulah nasib ditabrak orang tidak punya rasa kemanusiaan dan tanpa tanggung jawab. Sebaliknya, bagaimana nasib orang yang saya tabrak?. Begini kisahnya.
Menabrak.
Peristiwa menabrak orang sampai masuk rumah sakit terjadi dua kali seumur hidup saya. Pertama terjadi 26 tahun yang lalu di desa Halilulik, kota Kecamatan, tidak begitu jauh di luar kota Atambua, NTT. Yang keua kalinya terjadi di jalan Boulevard Barat, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kedua kasus ini tidak tabrak lari. Sebaliknya, saya membawa mereka sampai ke Rumah Sakit dan menanggung biaya pengobatannya.
Dalam kasus pertama, saya tidak hanya bersalah, tetapi juga merasa berdosa karena bersifat arogan. Dengan Jeep Hardtop berplat merah, mengendarai mobil seperti raja jalanan saja. Mau menuju kota Atambua,di jalanan yang relatif sempit, kaca sion mobil menyenggol seorang Ibu di pinggir jalan. Kami pun turun dsn membawanya ke Rumah Sakit terdekat dan berjanji akan menanggung biaya.
Walau sebagai Pejabat, sore/malam hari itu, saya kuatir juga kalau kalau keluarga korban datang dengan kekerasan. Maka itu, saya langsung lapor ke POLRES, bukan ke Kapolres yang saya kenal dekat. Rupanya ketakutan saya berlebihan. Rakyat kebanyakan tidak seburuk itu.
Itulah kasus menabrak di kota kecil. Dengan mudah urusan diselesaikan dengan damai. Bagaimana repot dan ruwetnya jika tabrakan terjadi di kota besar, tabrakan kedua dibawah ini mengisahkannya.
Disore menjelang petang, tepatnya jam 15.30 tanggal 23 November 2006,tiga lajur bagian timur Jalan Bulevard barat, padat kendaraan. Sehabis lampu merah masuk ke Jl.Boulevard kendaraan relatif kencang. Mobil Hyunday kuning gading yang saya bawa melaju di jalur cepat kanan. Setelah Bank Mandiri, seorang gadis mungil menyeberang jalan. Lajur pertama dan kedua berhasil dia lewati dengan aman. Melangkah ke lajur ketiga,....braaaak...dia terlempar terduduk diaspal. Semua mobil berhenti dan menjadi macet total karena banyak yang datang ingin melihat dan menolong. Sayapun langsung turun, posisi mobil tetap di lajur tiga, berhenti. Kap mobil penyok karena menabrak pinggul gadis itu dengan keras.
Para pengendara mobil keluar atau melongok dari kaca dengan nada marah dan menggerutu menyalahkan saya, yang dinilai ngebut. Mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ada beberapa orang pegawai pertokoan yang lari mendekati korban ingin membantu. Kepada korban saya berkata :"Ayo naik mobil, kita ke Rumah Sakit", kata saya. Penonton mengingatkan :"Awasi Bapak itu jangan lari"' kata mereka. Si gadis berkata:"Ga usah Om, saya bisa kok jalan sendiri", katanya seraya melanjutkan:"Sandal saya satu lagi mana?" katanya. Rupanya satu sandalnya terlempar ke got. Diapun kami papah berdua dengan seorang pria masuk ke dalam mobil saya.
Setelah duduk di mobil dia berkata :"Sebenarnya saya yang salah Om, ragu ragu menyebrang", katanya dengan lugunya, sambil meminta:"Kita kerumah saja dulu", katanya dengan menyebutkan lokasi di daerah Klender. Dari raut mukanya yang menahan rasa sakit dia bercerita :" Saya tadinya mau ngajar les menari di belakang Apartemen", katanya. Sebagai anak sulung, rupanya dia ikut menopang ekonomi keluarganya. Seperti sudah merasa akrab saja, dia melanjutkan :"Kontrak menari saya di Mal Arta Gading bisa batal, jika kaki saya tidak sembuh", katanya dengan muka lugu, tanpa ada rasa marah yang terpendam. Sebelum turun dari mobil masih sempat dia bercerita dengan wajah sendu :"Semoga tanda tangan kontrak nari di mal Arta Gading jangan sampai batal", kata gadis itu, yang menyebut namanya Krista.
R.S.Mitra Keluarga
Mau turun dari mobil perih kakinya makin terasa dan tidak bisa berjalan sama sekali. Saya terpaksa papah. Ketika masih diujung gang menuju rumahnya Ayahnya yang tinggi berkulit hitam dari jauh berkata :"Ada apa nak sampai dipapah?", katanya. Setelah duduk di ruang tamu, saya memperkenalkan diri dan langsung berkata:"Bapk/Ibu saya minta maaf karena menabrak anak Bapak",kata saya sambil memperhatikan reaksi mereka. Ibunya menyelidik :" Apa yang sebenarnya terjadi", katanya agak sengit. Dengan hati hati saya menjawab "Bu, lebih baik tanya anak Ibu", jawab saya agar tidak tampak saya membela diri. Tidak tahu apa yang dilaporkan anaknya didalam kamar. Yang pasti, tidak tampak muka marah dalam wajah Ayah, Ibu dan neneknya. Setelah berdoa bersama, kamipun sepakat membawanya ke Rumah sakit Mitra Keluarga di Jatinegara, Jakarta Timur.
Setelah pemeriksaan selesai, termasuk rontgen pinggulnya, Dokter menjelaskan:
"Syukur, tidak ada tulang yang patah", katanya sambil menunjukkan film rontgen dibalik lampu di dinding sebelah meja dokter. "Tidak perlu opname", kata Dokter meyakinkan. Sebelumnya, Ibunya berkeras meminta pengertian saya agar diopname demgan berkata :"Saya takut nanti malam terjadi apa apa di rumah", katanya. Setelah negosiasi didepan Dokter, akhirnya mereka dapat menerima tidak perlu opname. Kami kembali kerumah, setelah Biaya Rumah sakit saya selesaikan.
Dalam kasus kedua ini, tidak nampak kehadiran seseorang berhati malaikat. Tetapi yang pasti penyelesaian secara damai merupakan bukti bahwa masalah bisa diselesaikan dengan baik baik,musyawarah, tanpa saling menekan, memeras atau saling menyalahkan. Karena tidak seorangpun menginginkan kecelakaan itu terjadi.
No comments:
Post a Comment