Saturday, April 16, 2022

MENINGGALKAN COMFORT ZONE #5

#MOTIVASI
Prinsip meninggalkan Comfort zone adalah untuk menggapai kehidupan yang lebih baik, lebih tinggi bukan untuk ego pribadi tetapi demi kesejahteraan anak anak dan keluarga. Pada umumnya orang yang berani ambil risiko meninggalkan Comfort zone akan meningkat posisinya walau tantangannya tidaklah mudah. Dan mereka adalah petarung yang tangguh, memiliki nyali yang berani menantang risiko.
Alasan meninggalkan Comfort zone karena sudah mentok di posisi echelon II. Untuk duduk diposisi Direksi bank BUMN itu tidaklah mudah, haruslah brilyan disamping politik.
Beberapa tahun sebelumnya ketika sebagai Kepala Cabang di Jawa Tengah bos saya dari Semarang telpon saya bilang begini ;"Selamat pak Situmeang, bpk dipromosi jadi kepala cabang Surabaya", katanya. Saya kaget tidak percaya apa yang saya dengar, karena saya tidak punya jalur khusus ataupun teman dekat. Promosi ke cabang propinsi itu semata mata karena performance cabang Kudus di Jawa Tengah selama 3 tahun lebih. Pimpinan regional mengenal dengan baik potensi professional saya.
"Terima kasih pak", hanya itu yg bisa saya katakan. Sebelum telpon ditutup bos saya, Kepala Kanwil Jawa Tengah itu berkata :"Jangan lupa sama saya ya kalau nanti sudah jadi Direksi", katanya.
Pengganti saya di cabang Kudus beberapa tahun kemudian ditunjuk menjadi Direksi Bank, anak perusahaan satu dan lain hal karena cabang tersebut berhasil saya kerek menjadi top tree di Jawa Tengah. Begitu juga yang menggantikan saya di cabang Surabaya adalah angkatan diatas saya, anak mantan Direksi. Yang kemudian meloncati saya menjadi Direksi kami.
Setelah dipindah ke Kantor pusat saya langsung promosi jadi Echelon II. Mau jadi Direksi tidak pernah bermimpi. Kursinya hanya 5 diperebutkan oleh banyak orang professional dan lebih hebat.
Karena di Pusat bertahun tahun mendampingi group konsultan dari Harvard, maka terbukalah kesempatan setahun sekali ke manca Negara untuk kursus, training, lihat pameran dan study banding. Untuk memperluas wawasan, hampir selalu saya menggandeng istri atau anak anak ke Asean, Hongkong, Jepang dan USA.
Seperti dikisahkan diatas, karena merasa mentok kurang tantangan di Echelon II, atas persetujuan istri tercinta kami memutuskan resign diusia 48 thn dng mendapat hak uang pensiun bulanan hingga kini.
Selama mendampingi konsultan Amerika tsb kami melihat peluang, mengirimkan 3 orang anak sekolah di US, di bangku Senior high school, SMA. Karena disana sekolah hingga high school itu free, ga bayar uang sekolah, ke sekolah bisa naik bus warna kuning. Rasanya tidak berat biayanya. Di US sekolah tingkatan SD sampai SMA free walaupun anak orang asing seperti ke 3 anak saya.
Setelah masuk Perguruan Tinggi baru terasa uang kuliah mahal. Oleh sebab itulah saya resign dan buka usaha sendiri menjadi sumber pendapatan untuk membiayai kuliah mereka disana.
Tetapi dua anak saya sangat cinta Negaranya dan memilih pulang dan bekerja di Jakarta. Sedang yg satu lagi lebih cinta istrinya Indonesian American dan memilih menjadi warga Negara sana.
Sepertinya semua berjalan mulus, tidak juga. Bagaimana reportnya mengawasi anak anak SMA jauh di negeri orang, mencari apartmen, harus kesana setiap tahun, anak anak yg harus bekerja part time untuk menambah biaya hidup dsb.


23 Komentar


No comments: