Saturday, April 9, 2022

HIDUP INDEPENDEN

#HIDUPADALAHPERJUANGAN

AKAR PENDIDIKAN ITU PAHIT, TAPI BUAHNYA MANIS.
Dengan nekad saya merantau jauh ke ibu kota tetangga, Padang Sidempuan karena di Sibolga belum ada SMEAN. Pada hal di saat itu masih sering terdengar suara bom mortir, bazooka, senapan mesin pemberontakan separatis PRRI di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Akibatnya, pulang kampung semakin jarang. Baru bisa pulang bersama beberapa kendaraan konvoy dikawal oleh tentara Pusat. Hal ini mendidik saya hidup independen.

Bersyukur tinggal kos di rumah dengan kebudayaan dan agama yang berbeda yang memperlakukan saya sangat baik sebagai keluarga. Di kampung itu tinggal seorang teman sekelas dengan mimpi yang sama, ingin kuliah ke Universitas Negeri di Jawa yaitu UI atau GAMA. Oleh karena itu kami berjuang, belajar keras, hampir tiap hari belajar bersama di rumahnya yang sepi di kampung Marancar. Akhirnya kami berdua jadi juara kelas dengan nilai ijazah rata rata diatas tujuh.
Lalu kami naik bus seharian 400 kilometer menuju Medan, disana menginap beberapa hari menanti jadwal kapal laut dari Belawan - Tanjungpriok. Mata berkaca - kaca memandang laut, untuk menggapai mimpi, meninggalkan orang tua tercinta nun jauh di desa di gunung sana.
Era tahun 1960an merantau ke Jawa merupakan suatu tindakan yang sangat nekad dan berani. Mengingat di Jawa tidak punya family dekat yang akan membantu. Seperti rusa masuk kampung, kami disambut patung Selamat datang depan Hotel Indonesia, Jakarta.
Berbekal ijazah dari sekolah kampung di pedalaman Sumatera Utara serta doa kepada Allah, kami berdua bisa lolos test masuk Fak. Ekonomi GAMA. Ternyata kwalitas guru - guru sekolah kami di kampung bisa diberi dua jempol.
Hidup selama kuliah menghadapi berbagai kesulitan terutama biaya yang pas pasan atau terlambat datang. Tapi kami berdua tidak pernah patah semangat. Seperti kata Aristoteles, "Akar pendidikan itu pahit, tetapi buahnya manis." Hampir sama seperti buah salak di kota Padang Sidempuan yang kulitnya tajam, tetapi buahnya manis.
Pendidikan enam tahun (terganggu pemberontakan G3OS/PKI) betul - betul pahit. Mengapa?. Hidup independen tanpa bantuan fihak lain, harus prihatin dengan uang pas - pasan yang kadang terlambat sampai. Dapat dimaklumi karena orangtua saya dan teman saya, Parlaungan Hasibuan sama - sama pedagang karet, ada kalanya rugi.
Rasa pahit karena tidak seperti teman lain yang berkecukupan. Menggadaikan sepeda atau menjual buku dan pakaian bekas bukan hal yang memalukan. Jikapun makan di Rumah makan Padang atau menonton hanya sekali sebulan waktu kiriman datang. Atau bisa lebih, jika teman yang gantian traktir. Bahkan naik beca terasa mahal rasanya karena tidak punya uang.
Namun pengorbanan belajar, hidup independeen dan prihatin, masa pemberontakan komunis bisa dilalui. Pada akhirnya menerima selembar ijazah. Mengucap syukur kepadaNya. Berakhirlah satu buku kehidupan, memasuki lembaran buku baru...berjuang mencari pekerjaan di Ibukota. Dan sejak itu mandiri, hidup independen, malu meminta kiriman lagi dari orang tua.
Sambil melamar di tiga Bank, sementara bekerja di sebuah majallah kecil dengan upah seadanya, cukup untuk makan. Dan untuk sementara tinggal di rumah kenalan orang baik. Kapan kehidupan pahit ini akan berujung...?


No comments: