Kasir yang murah senyum itu, Sri Lestari, memanggil nama saya :”Pak Tigor”. Saya pun datang. “Maaf pak Tigor, Bilyet gironya (BG) belum diteken Bos”, katanya sambil senyum.
“Jangan panggil pak dong mbak, panggil saja bang”, kata saya menggoda.
“ Coba besok telpon dulu, siapa tahu sudah diteken”, katanya dengan logat Jawa yang medok.
“Ok mbak, aku telpon ke HPnya aja boleh ?”, tanya saya. Baru dia menyerahkan kartu nama, Sri Lestari. Dia tidak minta no HPku.
Besok paginya saya pake baju yang agak baru dengan parfum dan minyak rambut yang sama, harum baunya. Lalu kutelpon ke HPnya :”Selamat pagi mbak Sri”. “Siapa ya”, katanya karena nomorku belum ada sama dia. “Ini bang Tigor, BGnya sudah diteken ?”, tanya saya. “Oh sudah pak”, jawabnya.
“Boleh datang nanti habis makan siang ?”, katanya. “Baik, terima kasih, mbak Sri”, jawab saya sesopan mungkin. “Gimana kalau BGnya dibawa waktu makan siang ?”, ajak saya menggoda. “Maaf pak, tidak bisa harus diadministrasikan dulu”, jawabnya. “Ok, tapi jangan panggil saya pak dong, bang atau mas”, jawabku mengingatkan. “Eh, pangling, lupa bang Tigor, jawabnya terkekeh kekeh. Membayangkan ketawanya dan giginya yang rapi putih.
Disuatu pagi, jam 11 saya ketemu mbak Sri di ruang tunggu bagian Keuangan kantor penguasa Pelabuhan, P.T.PELINDO II. “Eh mbak Sri, apa khabar “, sapa saya sambil menggengam tangannya yang lembut. “Khabar baik bang Tigor”, katanya dengan ramah sambil menyibak rambut yang menutup kupingnya. Nampak berlian kecil dikedua kupingnya.
“Ntar siang makan dimana ?”, tanya saya. “Ya biasa, makan di kantor”, jawabnya polos. “Gimana kalo kita makan di Danau Sunter, dekat ini”, kata saya mencoba.
“Biasanya urusannya masih lama disini”, katanya mengalihkan perhatian.
“Mudah mudahan cepat selesai”, kata saya.
Persis setelah kumandang sholat siang dimatikan di kantor PELINDO II, urusan mbak Sri selesai. Sedang urusan saya bisa diurus nanti setelah makan siang.
“Wah jadi nieh mbak ke Danau Sunter”, kata saya mengingatkan.
Diapaun tersenyum manis, sedikit malu malu. Mau tapi jaga gengsi.
Kamipun turun lift berdua dari lantai 3 menuju parkiran. Tercium wangi parfumnya.
“Mbak kita naik mobil saya saja”, kata saya. Diapun ikut dan naik mobil saya.
Sambil menunggu pesanan makanan, memandang ke Danau menyaksikan olah raga ski di Danau sambil dibuai lagu sentimental dari restoran.
“Mbak Sri aslinya dari mana”, tanya saya “Dari Solo mas, eh bang”, katanya sambil tersenyum manis sekali. “Kerja disitu sudah berapa lama”, tanya saya melanjutkan. “Sudah hampir 5 tahun bulan Augustus nanti”, jawabnya. “Orang Keuangan itu pasti yang dipercaya ya”, kata saya. Dia hanya tersenyum. Dia tidak banyak bertanya, karena dia tahu bahwa saya adalah anak pemilik perusahaan rental Alat berat Tigor Company.
Waktu turun tangga dari restoran, saya pegang tangannya. Dia terkejut dan menarik tangannya. Dalam perjalanan pulang saya berkata :”Mbak Sri minggu depan, tolong bawa Bilyet Giro kesini ya ?”, pinta saya seraya melanjutkan :”Kita makan siang, makanan disini enak”, kata saya. “Akan saya usahakan”, katanya.
Awal bulan berikutnya kami jadi ketemuan di restoran Danau Sunter juga. Dia membawa Bilyet Giro, sewa bulanan. Persis sedang makan seorang pemuda tampan pakai kaos mahal bermerek mendatangi meja kami dan berkata :
”Betul kata orang, kau makan siang disini”, katanya sama mbak Sri
“Ini urusan bisnis mas”, kata Sri bingung membela diri.
“Bisnis itu di kantor, bukan di restoran, ayo pulang”, kata pacarnya sambil menarik tangannya.
“Maaf mas, urusan kami belum selesai”, kata saya.
“Jangan ikut campur, ini urusan saya sama Sri”, katanya sambil menggebrak meja.
“Saya pulang duluan bang”, kata Sri menuju parkiran.
Besok paginya saya mendatangi kantornya.
“Selamat pagi mbak Sri”, sapa saya.
“Maaf bang peristiwa kemarin” , katanya sambil menyerahkan Bilyet Giro dalam amplop berlogo Maskapai Pelayaran PL Lines.
Karena penasaran saya mengajaknya ke ruang tunggu dan bertanya :
”Emang mbak sudah rencana nikah sama dia, kok possesive banget”, tanya saya menelisik.
“Kami baru jadian 3 bulan ini”, katanya.
“Masmu memang ganteng”, kata saya mencoba isi hatinya.
“Dia orang Jawa tapi agak kasar”, katanya.
Dalam hati saya berfikir :”Wah ada kesempatan nieh”.
Nekad, hari Sabtu saya BBM dia :”Mbak Sri ada waktu kita makan malam?”, tanya saya ragu ragu.
“Baik bang, jemput saya jam 6.30 dirumah”, jawabnya sambil menjelaskan alamat.
Jam 6.30 tepat saya sudah datang kerumahnya.
Pacarnya keluar rumah dan berkata :”Kau lagi, ngapain kesini ?”, katanya dengan nada sengit.
Mbak Sri keluar rumah berkata :”Ayo pergi mas”, katanya.
Kami pun pergi dan dibelakang kami mobilnya membuntuti.
“Gimana ini mbak Sri”, kata saya.
“Biar saja saya mau putus, habis orangnya cemburuan, belum jadi sudah ikut campur”, katanya seraya menambahkan :"Ibu juga tidak suka karena beda keyakinan", katanya merasa marah yang disimpan.
Setelah putus dari pacarnya, hubungan kami pun berlangsung mesra. Bahkan dia sudah memperkenalkan orang tuanya. Saya juga memperkenalkan ke orang tua saya ketika kami wisata ke Danau Toba. Kebetulan kami jemaat di Gereja yang sama. Bosnya juga sudah mencium hubungan kami.
Hingga Tsunami itu menghantam Negeri Asia dan Nusantara. Terjadi krisis ekonomi. Kontrak kerja sama diputus oleh Maskapi pelayaran PL Lines. Semula saya ingin berdamai dengan Bosnya mbakSri dengan berkata :”Pak kontraknya dikurangi saja setengah”, kata saya. “Tidak bisa mas, karena tidak ada kerjaan, impor juga drop karena kurs $ Rp 15.000”, jawabnya.
“Kalau kontraknya diputus Bapak saya tuntut di Pengadilan”, kata saya menegosiasi dengan sopannya. “Ya silahkan, siapa takut”, katanya sok berani.
Mbak Sri mencoba membela perusahaan dimana dia mencari nafkah dengan berkata :”Bang sabarlah, Bos saya juga tdak salah, siapa yang mau krisis”., katanya.
“Sri, jika kontrak diputus, usaha kami mati dong”, kata saya membela diri.
"Saya juga sudah mengusulkan ke Bos agar kontraknya direvisi, bukan diputus", kata Sri seraya melanjutkan :"Bos begitu orangnya, sekali tidak ya tidak", katanya meyakinkan saya kalau dia juga membela Tigor company.
Sejak itu saya sangat sibuk mengurus perkara di di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga ke Mahkamah Agung. PL Lines dan Tigor company bermusuhan. Saya dengan Sri ikut juga bermusuhan membela perusahaan masing masing. Dan berakhir dengan kemenangan kami perkara Perdata di Mahkamah Agung. PL Lines membayar cukup besar, sebessar 12 bulan kali sewa bulanan.
Kontrak putus, hubungan kami pun pupus, gara gara badai tsunami krisis moneter.
No comments:
Post a Comment