Kereta Api Cirebon - Yogjakarta tiba dini hari di stasiun Tugu sesuai jadwal. Jacket biru muda masih melekat dibadan untuk menghalau udara sejuk Yogya di penghujung bulan Juli 2008 itu. Karena masih remang pagi, saya memilih menunggu duduk dibangku besi tempa di peron stasiun.
Disitu semburat cahaya mengintip dari celah atap, saya bergegas keluar, disana berjejer beberapa taksi dan becak. Saya menghampiri tukang becak dan bertanya :"Mas neng Samirono Baru pinten", kata saya menggunakan bahasa yang dulu sering saya ucapkan. "Kale doso mas", jawabnya dengan senyum ceria. Saya memilih naik becak ketimbang taksi, karena ongkosnya hampir sama. Sedang penghasilan Rp.20.000,- untuk tukang becak akan sangat berarti untuk asap dapur sehari. Hal ini pun sesuai dengan kedatangannya saya untuk mengikuti training "Diakonia" tgl.1 - 3 Augustus 2008 yaitu suatu program pelayanan Gereja bagi mereka yang berkekurangan.
Saya tidak menawar lagi,karena thn 2006 saya naik becak juga ke tujuan yang sama, saya hanya meminta :"Mas mangke kulo bade sarapan rumiyen" kata saya dengan bahasa gado gado, meminta dia menunjukkan dimana sarapan mie atau bubur ayam dalam perjalanan ke Samirono Baru. Disitu saya duduk, saya mengingatkan :"Alon alon mawon mas", kata saya, karena ingin nostalgia, layaknya napak tilas jalan yang dulu sering saya lalui dengan sepeda, jalan kaki atau naik becak selama 6 (enam) tahun tinggal di Yogjakarta.
Karena udara sejuk, tukang becak menggenjot dengan alon alon di jalur khusus, jalur lambat mengarah ke Tugu di utara. Tugu yang sama masih berdiri tegak, tidak berubah sejak zaman doeloe, tahun 1960an. Struktur jalan juga tidak berubah, kecuali penampilan toko toko layaknya di kota besar. Dulu dipojok jalan di Tugu buka Toko Gunung Agung yang tertata rapi. Disebelah Barat, berdiri bangunan bertingkat, sebuah perpustakaan yang dikelola oleh Konsulat Amerika. Jalan ke utara Tugu, menuju Jetis harjo, dimana saya pernah tinggal.
Perjalanan dilanjutkan ke timur melewati Jembatan yang lebar. Belok ke kanan menuju Gereja HKBP dan Lapangan Kridosono di Kota baru. Sedang belok ke kiri bernama Jalan Kornel Simanjuntak, menuju ke kampus Fak.Tehnik dan Fak.Ekonomi GAMA di Bulaksumur. Becak tidak berbelok ke kiri atau ke kanan, tapi terus lurus melaju ke arah timur.
Sebelum perempatan lampu merah, disebelah kiri adalah perpustakaan sebuah Gereja, yang sering kami gunakan untuk belajar. Disebelahnya Gedung Bank BTN, tempat saya menabung sedikit sisa kiriman wessel, yang tidak seberapa.
Setelah melewati lampu merah, disebelah kanan jalan masih kokoh berdiri Rumah Sakit Panti Rapih, yang banyak berjasa dalam peristiwa gempa,beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya memasuki Jalan Solo.
Nostalgia, napak tilas di pagi sejuk itu merewind masa lalu, nothing has changed so much, fikir saya. Masih lengket dalam ingatan masa masa muda penuh vitalitas dan tantangan dalam menggapai Sarjana dari Universitas bergengsi 40 tahun silam. How time fly so fast.
Dalam dua kali kesempatan ke Yogjakarta di tahun 2006 dan 2008 tidak saya sia siakan juga mengunjungi Pasar Bringhardjo,karena tidak jauh dari pasar, saya pernah indekos cukup lama. Pasar rakyat itu penuh dengan kain batik dan kaos khas Yogjakarta,
Dagadu, yang dijual murah meriah. Dua hem Batik pendek tangan dibandrol Rp.25.000,- Begitu juga kaos dagadu dijual per paket Rp.25.000,- untuk setengah lusin.
Pengelolaan pasarnya memang jauh lebih tertib dan bersih, tetapi suasananya tidak berubah, pelayanan yang ramah dan tawar menawar yang piawai. Nothing has changed dalam kebudayaan Jawa yang santun.
Di complex LPPS GKI-GKJ (Lembaga Pengkaderan&Pendidikan Sinode Gereja Kriten Indonesia - Gereja Kristen Jawa), tidak ada yang berubah dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Di mulut jalan memasuki complex perumahan Samirono Baru, ada Restoran terbuka menu Jawa. Tiga puluh meter ke Barat sebuah Restoran dengan style Pendopo ditata rapi dengan berbagai menu sesuai selera. Disore/malam hari di sepenjang jalan dipenuhi tenda tenda penjual makanan rakyat dengan kursi kursi panjang atau lesehan di emperan toko, yang tutup dimalam hari. Harga makanan relatif murah, disesuaikan dengan kantong warga Yogjakarta, terutama para Mahasiswa.
Perubahan yang cukup mencolok adalah populasi Sepeda jauh kalah dibandingkan dengan Sepeda motor, yang bisa masuk gang gang perumahan penduduk. Rasanya predikat kota Sepeda sudah saatnya dihapus dari kamus kota ini.Untuk sekedar bernostalgia, saya masih tinggal sehari semalam lagi. Beruntung seorang aktivis GKI asal Timor dengan suka rela bersedia makan siang sederhana bersama saya disekitar Kampus Bulaksumur dengan sepeda motornya. Disiang hari saya sendiri coba naik Bus Kota dengan rute mengelilingi Kampus Bulaksumur, dilanjutkan berjalan kaki di trotoar Jalan Malioboro yang kondang itu.
Perkembangan zaman tidak bisa menampik derasnya Globalisasi dengan segala dampak positive dan negativenya. Namun satu hal yang tidak berubah adalah kebudayaan keramah tamahan asli Yogjakarta, yang banyak mempengaruhi para siswa pendatang. Artinya pendatanglah yang terpengaruh dengan kebudayaan Jawa, bukan sebaliknya. Kebudayaan Yogjakarta won't changed.
Disitu semburat cahaya mengintip dari celah atap, saya bergegas keluar, disana berjejer beberapa taksi dan becak. Saya menghampiri tukang becak dan bertanya :"Mas neng Samirono Baru pinten", kata saya menggunakan bahasa yang dulu sering saya ucapkan. "Kale doso mas", jawabnya dengan senyum ceria. Saya memilih naik becak ketimbang taksi, karena ongkosnya hampir sama. Sedang penghasilan Rp.20.000,- untuk tukang becak akan sangat berarti untuk asap dapur sehari. Hal ini pun sesuai dengan kedatangannya saya untuk mengikuti training "Diakonia" tgl.1 - 3 Augustus 2008 yaitu suatu program pelayanan Gereja bagi mereka yang berkekurangan.
Saya tidak menawar lagi,karena thn 2006 saya naik becak juga ke tujuan yang sama, saya hanya meminta :"Mas mangke kulo bade sarapan rumiyen" kata saya dengan bahasa gado gado, meminta dia menunjukkan dimana sarapan mie atau bubur ayam dalam perjalanan ke Samirono Baru. Disitu saya duduk, saya mengingatkan :"Alon alon mawon mas", kata saya, karena ingin nostalgia, layaknya napak tilas jalan yang dulu sering saya lalui dengan sepeda, jalan kaki atau naik becak selama 6 (enam) tahun tinggal di Yogjakarta.
Karena udara sejuk, tukang becak menggenjot dengan alon alon di jalur khusus, jalur lambat mengarah ke Tugu di utara. Tugu yang sama masih berdiri tegak, tidak berubah sejak zaman doeloe, tahun 1960an. Struktur jalan juga tidak berubah, kecuali penampilan toko toko layaknya di kota besar. Dulu dipojok jalan di Tugu buka Toko Gunung Agung yang tertata rapi. Disebelah Barat, berdiri bangunan bertingkat, sebuah perpustakaan yang dikelola oleh Konsulat Amerika. Jalan ke utara Tugu, menuju Jetis harjo, dimana saya pernah tinggal.
Perjalanan dilanjutkan ke timur melewati Jembatan yang lebar. Belok ke kanan menuju Gereja HKBP dan Lapangan Kridosono di Kota baru. Sedang belok ke kiri bernama Jalan Kornel Simanjuntak, menuju ke kampus Fak.Tehnik dan Fak.Ekonomi GAMA di Bulaksumur. Becak tidak berbelok ke kiri atau ke kanan, tapi terus lurus melaju ke arah timur.
Sebelum perempatan lampu merah, disebelah kiri adalah perpustakaan sebuah Gereja, yang sering kami gunakan untuk belajar. Disebelahnya Gedung Bank BTN, tempat saya menabung sedikit sisa kiriman wessel, yang tidak seberapa.
Setelah melewati lampu merah, disebelah kanan jalan masih kokoh berdiri Rumah Sakit Panti Rapih, yang banyak berjasa dalam peristiwa gempa,beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya memasuki Jalan Solo.
Nostalgia, napak tilas di pagi sejuk itu merewind masa lalu, nothing has changed so much, fikir saya. Masih lengket dalam ingatan masa masa muda penuh vitalitas dan tantangan dalam menggapai Sarjana dari Universitas bergengsi 40 tahun silam. How time fly so fast.
Dalam dua kali kesempatan ke Yogjakarta di tahun 2006 dan 2008 tidak saya sia siakan juga mengunjungi Pasar Bringhardjo,karena tidak jauh dari pasar, saya pernah indekos cukup lama. Pasar rakyat itu penuh dengan kain batik dan kaos khas Yogjakarta,
Dagadu, yang dijual murah meriah. Dua hem Batik pendek tangan dibandrol Rp.25.000,- Begitu juga kaos dagadu dijual per paket Rp.25.000,- untuk setengah lusin.
Pengelolaan pasarnya memang jauh lebih tertib dan bersih, tetapi suasananya tidak berubah, pelayanan yang ramah dan tawar menawar yang piawai. Nothing has changed dalam kebudayaan Jawa yang santun.
Di complex LPPS GKI-GKJ (Lembaga Pengkaderan&Pendidikan Sinode Gereja Kriten Indonesia - Gereja Kristen Jawa), tidak ada yang berubah dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Di mulut jalan memasuki complex perumahan Samirono Baru, ada Restoran terbuka menu Jawa. Tiga puluh meter ke Barat sebuah Restoran dengan style Pendopo ditata rapi dengan berbagai menu sesuai selera. Disore/malam hari di sepenjang jalan dipenuhi tenda tenda penjual makanan rakyat dengan kursi kursi panjang atau lesehan di emperan toko, yang tutup dimalam hari. Harga makanan relatif murah, disesuaikan dengan kantong warga Yogjakarta, terutama para Mahasiswa.
Perubahan yang cukup mencolok adalah populasi Sepeda jauh kalah dibandingkan dengan Sepeda motor, yang bisa masuk gang gang perumahan penduduk. Rasanya predikat kota Sepeda sudah saatnya dihapus dari kamus kota ini.Untuk sekedar bernostalgia, saya masih tinggal sehari semalam lagi. Beruntung seorang aktivis GKI asal Timor dengan suka rela bersedia makan siang sederhana bersama saya disekitar Kampus Bulaksumur dengan sepeda motornya. Disiang hari saya sendiri coba naik Bus Kota dengan rute mengelilingi Kampus Bulaksumur, dilanjutkan berjalan kaki di trotoar Jalan Malioboro yang kondang itu.
Perkembangan zaman tidak bisa menampik derasnya Globalisasi dengan segala dampak positive dan negativenya. Namun satu hal yang tidak berubah adalah kebudayaan keramah tamahan asli Yogjakarta, yang banyak mempengaruhi para siswa pendatang. Artinya pendatanglah yang terpengaruh dengan kebudayaan Jawa, bukan sebaliknya. Kebudayaan Yogjakarta won't changed.
No comments:
Post a Comment