"Apa kalian sudah gila meninggalkan pekerjaan yang begitu baik", kata Letkol Pasaribu, ketika kami pamitan akan pindah ke Jakarta. Sambil berdiri dia melanjutkan :"Memang kalian punya uang berapa?, kata Kepala Staf KODIM Rantau Prapat itu dengan nada keras seorang militer. Sebagai family mertua (hula hula) dengan sopan tersipu dengan jujur saya berkata:"Kami tidak punya uang banyak Amang", jawab saya. Orang nomor dua di Kodim Kabupaten Labuhan Batu itu pun dengan geleng geleng Kepala menjulurkan tangan sambil berucap :"Selamat jalan", sambil menyalami kami.
Posisi saya di fabrik Crumb Rubber, P.T.Panatraco waktu itu adalah sebagai Factory manager, dengan penghasilan yang relatif besar, ditambah dengan fasilitas rumah, kendaraan dan makan siang gratis, karena kami tinggal di complex fabrik di desa Sigambal, sekitar 8 km diluar kota Rantau Prapat (bukan kota Prapat, danau Toba).Umur saya saat itu masih muda, 27 tahun, dengan dua anak Balita berusia 2 bulan dan 2 tahun.
Fabrik karet Crumb Rubber ini tergolong modern, sebagai bagian dari program Pemerintah yang digagas oleh Prof.Sumitro sebagai Menteri Perdagangan. Kami dari berbagai perusahaan di Indonesia dan Burma mendapat training di fabrik milik Guthrie Sd.Bhd di Port Klang, Malaysia.
Sebagai S1 ekonomi Perbankan saya berusaha memanfaatkan Potensi Diri semaksimal mungkin memimpin 5 bagian (Bagian Pembelian, Produksi, Laboratorium, Tehnik dan SDM). Bahan baku yang mengandalkan karet rakyat berkwalitas rendah itu harus diolah sedemikian rupa menjadi karet kwalitas ekspor dengan Standard Internasional.Indonesia dikenal dengan label Standard Indonesian Rubber (SIR) yaitu kwalitas pertama SIR 5, SIR 20 dan paling rendah kwalitas SIR 50.
Dari tiap tiap 10 unit (bal) @ 20 kg produksi berbentuk 4 persegi panjang, di keempat sudut bal dipotong kecil untuk di test di Laboratorium sendiri, untuk menentukan kwalitas. Hasil Lab tsb kemudian dikirim ke Medan untuk di cross check lagi di Laboratorium milik Pemerintah. Setelah diterbitkan sertifikat mutu, barulah Bea Cukai mengijinkan untuk diekspor.
Karena semua produk adalah tujuan ekspor, terutama ke Eropah, maka jadwalnya sangat ketat. Pertama diketahui dulu harga penjualan franko FOB (Free on Board) pelabuhan Belawan dan tanggal EDD (expected date of departure) atau tgl keberangkatan kapal. Kemudian dikalkulasilah CGS (Cost of good Sold) minus Biaya produksi dan Overhead cots. Sesudah itu barulah dapat ditentukan harga pembelian karet rakyat. Harga pembelian itupun disesuaikan pula dengan harga pasar lokal, karena bersaing dengan fabrik fabrik lain.
Cukup dua tahun saya bekerja di Sumatera Timur ini, merasakan bahwa potensi diri disini kurang pas dengan pendidikan saya di bidang Perbankan dari F.E.GAMA. Kebetulan saya perhatian iklan iklan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan potensi diri dan pendidikan saya, S1 jurusan Perbankan FE GAMA. Beberapa Bank Bank BUMN sedang mencari tenaga staf. Mumpung usia belum melewati maximal yang di persyarat kan, kenapa tidak mencoba melamar pekerjaan di Bank.Jika nanti umur bertambah melewati maximal yang ditentukan, maka pintu itu pun sudah tertutup. Sayang potensi diri, pendidikan, kurang digunakan maksimal.
Selama 2 tahun bekerja, saya menilai potensi diri sendiri bahwa apabila kita committed melakukan pekerjaan, maka dengan cepat bisa menguasai permasalahan, yang justru pemilik perusahaan tidak tahu. Belum pernah terbayang sebelumnya, sebagai ekonom saya harus tahu aspek tehnik, mesin, blending (campuran) berbagai kwalitas bahan baku dengan zat kimia, mengatur temperatur dryer, alat pengering otomatis. Dan yang paling berat adalah memimpin 5 Kepala Bagian yang senior, umur 40 keatas. Bahkan Kepala Gudang, Kasir dan Pembukuan sudah diatas 55 tahun. Sedangkan saya dibawah 30 tahun.
Dengan percaya diri atas potensi diri sendiri,kami pun sepakat dan nekad berangkat ke Jakarta dan....menganggur. Saya melamar keduaBank BUMN yaitu Bank Indonesia dan Bank BRI. Sambil menunggu ujian dan proses rekrutmen, saya bekerja beberapa bulan jadi wartawan Ibukota di harian Suara Karya milik GOLKAR, karena di Yogjakarta pernah nyambi sebagai wartawan Mingguan Mahasiswa.
Dengan pengalaman kerja di Fabrik, sebagai nasabah Bank Dagang Negara Medan dan S1 Perbankan, ujian di BRI berhasil. Sedang di Bank Indonesia gagal. Tentu pekerjaan Wartawan terpaksa ditinggalkan untuk menggapai dunia baru, Dunia Perbankan, yang sesuai dengan potensi diri dan pendidikan, melalui suatu program rekrutmen Calon WAKAKANCA (Wakil Kepala Kantor Cabang) Angkatan kedua, suatu posisi yang sangat menggiurkan dan menjanjikan. Sesuai dengan Crash program Bank BRI, maka hanya dalam hitungan dua setengah tahun, saya langsung ditunjuk menjadi Wakil Kepala Cabang pertama di Kebumen, Jawa Tengah, sebelum diromosikan menduduki kursi empuk Kepala Cabang BRI Atambua, NTT.
Di Bank BRI inilah potensi diri saya gali lagi. Tanpa bermaksud untuk berlomba, bersaing sesama Kepala Cabang,ternyata Direksi bisa melihat potensi diri saya dibandingkan dengan Kepala Cabang BRI lainnya.
No comments:
Post a Comment