Sunday, September 6, 2009

ORGAN TARLING DAN TARDUT CIREBONAN

 

Mas ke kampung Cangak, tempat pernikahan itu berapa", kata saya dengan halus. "Terserah saja pak" kata si Abang becak dengan ramah. Wah sulit juga untuk negosiasi model begini, takut kemahalan atau kurang membayar.

Tradisi saling menghargai, tanpa perlu tawar menawar dan sudah ada  standard yang wajar atas ongkos tertentu, masih bertahan dipedesaan.Yah sudah pasrah saja semoga Abang becaknya baik hati.

Sekitar 25 menit kemudian, dengan membayar Rp.5.000,- saya pun turun di kampung Cangak, disekitar panggung setinggi dua meter dengan dekorasi  tenda warna warni pelangi. Daerah ini masuk wilayah Kertas Maya, Indramayu, Jawa Barat.


Tidak sabar menunggu menyaksikan seperti apa sih Organ Tarling itu, yang sering dipublikasikan di media massa. Menjelang jam 11 siang, musikpun mulai menggelegar tepancar dari 12 speaker raksasa yang ditumpuk di dua sudut panggung.


Tak lama seorang dari dua penyanyi tampil membawa lagu sedikit aneh, khas daerah Indramayu, campuran antara lagu dangdut dan pop dengan selalu mengulang beberapa bait. Hanya suaranya hilang ditelan hingarnya musik Tarling lewat speaker maha besar itu. Ahh, ternyata Tarling itu singkatan Gitar dan Seruling dengan diiringi organ tunggal.

Sebenarnya Organ Tarling itu aslinya adalah Sandiwara diiringi lagu lagu dan tarian joged. Organ Tarling ini merupakan musik khas daerah Cirebon yang sudah dicemari lagu dangdut, sehingga timbul juga genre baru yang dikenal dengan "Tardut" alias Tarling dangdut. Pesta dikampung Cangak ini hanyalah Organ Tarling  yang tampil tanpa sandiwara, bukan Tarling lengkap yang bisa beranggotakan sampai 40 orang.

Bergantian orang per orang atau satu grup naik ketas panggung, laki perempuan, tua, muda dengan pakaian sederhana, pakai sandal, ada yang bertopi pet, berjoget bersama penyanyi yang tidak berhenti menghibur sampai rombongan lain berganti lagi.

Disela sela tarian dan tarik suara, si penyanyi kadang kala menyebut nyebut nama pria yang berjoged, karena si pria sudah siap dengan uang kertas ditangan  sebagai "saweran" yang diberikan sambil berjoged. Semakin sering disebut namanya, semakin sering pula uang kertas itu beralih tangan. Saya melihat ribuan, lima ribuan sampai lima puluh ribu. Rupanya saweran itu menjadi penghasilan tambahan diamping bayaran si pengundang. Saweran ini agak berbeda sifatnya dengan selipan uang pada tortor Batak dengan menyelipkan uang disela sela jari tangan.



Semula saya menduga akan banyak pemuda/i yang berjoged ala Inul Daratista atau Dewi Persik, ternyata dugaan saya meleset jauh sekali, karena dikampung ini anak gadis tabu untuk ikut berjoged ria.
Akad nikah dan resepsi pernikahan Eka Nigsih dan Ai itu dilaksanakan dilingkungan perumahan penduduk, maka dandanan penaripun dapat dikatakan masih sopan disesuaikan dengan lingkungan warga yang agamis. Dibalik rok masih menggunakan stocking jaring jaring warna hitam untuk menutupi auratnya dipadu padan dengan sepatu bot tinggi, seorang berwarna hitam dan seorang lagi putih. Dandanan itu ditambah lagi dengan accessoris ikat pinggang lebar dan dikepalanya bertengger topi yang menghadap kebelakang.

Demikian pula 9 (sembilan) orang pemuda tampil dengan dandanan gaul kalung kalung dan celana jean, model kota dengan rantai bergantungan disekitar pinggangnya. Mereka bergoyang berjoged jauh  lebih dinamis dibanding dengan joged orang Dewasa yang tampil sebelumnya. Kedua pengantin yang gabung dengan mereka ikut bergoyang tidak kalah hebohnya.

Ketika para kawula muda naik panggung pas waktunya, karena cukup lama mereka menunggu giliran. "Kalau molor lagi mereka bisa mengamuk", kata seorang tamu kepada saya. Penasaran, saya bertanya :"Kenapa Pak". tanya saya dengan sopan. "Karena mereka sudah minum dulu, sebelum ke pesta ini", katanya. Wah saya jadi bingung juga. Kedua penyanyi wanita muda itu tetap happy mendampingi  mereka menari, walau sawerannya umumnya hanya lembaran ribuan.


Tidak mau kalah dengan penyanyi Tarling, adik pengantin pria, Linda dengan cukup lincah dan fasih menyanyikan lagu "SMS" yang sedang trend belakangan. Remaja inipun mendapat saweran ratusan ribu rupiah dari Pak Waca, ayahnya dan dari kakaknya sendiri. "Jangan minta duit lagi untuk beli voucher ya", kata Ayahnya bergurau

Menjelang sembahyang siang, acara berhenti menghormati warga yang sedang menunaikan ibadah sembahyang. Setelah itu, tiba pula acara makan siang. Saya pun ikut antri dimeja ala prasmanan berbagai  menu yang memancing air liur tidak jauh  berbeda dengan makanan pesta pernikahan di Jakarta.

Saya bertanya kepada  pak Mutanu, ayah pengantin wanita, yang akrab disapa pak Perry :"Pak disediakan makanan untuk berapa orang ", kata saya. Dengan tertawanya yang khas, dia menjawab:" Disini siapa saja boleh datang makan", katanya dengan bangga atas keakraban warga kampung Cangak itu. Untuk pesta ini dua kambing sudah disembelih. Ternyata mereka tidak mengirim surat undangan, karena satu kampung itu masih ada ikatan family, secara langsung ataupun family jauh.

Sehabis makan siang Organ Tarlingpun memekakkan telinga kembali dan penyanyi mulai berdendang dan mengundang warga untuk naik berjoged ria kembali. Kali ini tiba giliran kedua pengantin serta kedua Ayah Ibunya Eka, Pak Mutanu - Unah dan pak Waca dan isterinya, orangtua mempelai pria. Kedua besan yang sudah berteman sejak muda ini, tanpa rasa risi ikut berjoged, bergoyang seadanya dengan pakaian pestanya. Sayapun ikut bejoged bersama orangtua pengantin, sebagai penghormatan atas undangan tuan rumah.

Nanggap Organ Tarling bernama "Nada Rindu" itu tidaklah murah, mencapai Rp. 2.800.000,- itu hanya berlangsung hingga jam 01.00 dinihari setelah rehat siang jam 15.00 - 21.00 untuk menghormati masjid yang tidak jauh dari lokasi panggung. Biaya Tarling lengkap dengan Sandiwara, bisa mencapai Rp. 30.000.000 yang hanya orang tertentu yang mampu. Acara Tarlingan dua hari 2 malam dilanjutkan lagi dikampung pengantin laki laki tgl.1 dan 2 September 2006. Dengan tulus Pak Waca megundang saya untuk datang. Sayang malam itu saya  harus berangkat melanjutkan perjalanan ke Yogjakarta mengikuti training mulai tgl.30 Augustus 2006.

Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri Organ Tarling di Indramayu, ternyata joged, goyangan, kostum penyanyi, berjalan sesuai dengan tata krama setempat, bahkan jauh lebih tertib dan sopan dibandingkan dengan penyanyi Band di panggung panggung lainnya di tanah Air. Jadi kita jangan terlalu cepat menilai kebudayaan daerah lain apabila kita tidak menyaksikan sendiri dan mendapatkan informasi langsung dari sumber setempat. Jauhkan assumsi dan prejudice yang merugikan daerah lain.

Pagi tgl 28 Augustus, Kereta Api CIREX, Cirebon Ekspress berangkat tepat waktu dari stasiun Gambir, Jakarta dengan ticket relatif murah, Rp.65.000,- dengan fasilitas yang cukup nyaman dan AC yang sejuk membuat mata ngantuk. Dengan membaca majallah tidak terasa waktu 2 jam 45 menit cepat berlalu dan sudah tiba di stasiun Jatibarang. Dari sana naik Bus umum lagi dengan ongkos Rp.3.000,- sampai di Kampung Kertas Maya dan dilanjutkan dengan naik becak sekitar 1 km kedalam.

Malam itu juga  jam 20.00 diudara dingin dengan memakai jacket biru, saya pamit kepada Tuan rumah dan seorang keluarganya mengantar saya ke stasiun Jatibarang dengan sepeda motor. Naik K.A dari Jatibarang sampai ke Cirebon tidak perlu beli ticket karena jaraknya cukup dekat. Baru di Cirebon ganti Kerata Api Jakarta - Yogjakarta dan tiba di Stasiun Tugu masih gelap dirembang pagi tgl.29 Augustus 2006.

Selamat Eka dan Ai.
Saya berdoa kiranya pengantin  muda usia, Eka Ningsih dan Ai berbahagia dan tidak melupakan cinta kasih kedua orangtua.

2 comments:

Unknown said...

hehehe .. budaya kita sungguh amat beragam dan kaya akan makna dan ragamnya .. semua bisa diaduk jadi satu dan sesuai kebutuhannya .. BHINEKA TUNGGAL IKA Indonesiaku .. selamat menempuh hidup baru kepada yang baru menikah ..

www.topramos.blogspot.com said...

Tksh Uti,

Ini sebenarnya cerita lama....ada teman baru dari Indramayu....kukirim erita ini ke dia...Kaget kalau saya pernah sampai kedesa..

Thanks for stop by